Pengakuan: Langsung Dibebankan, Dibiayakan,
Dikapitalisasi?
Apakah suatu pengeluaran sebaiknya
langsung dibebebankan, dibiayakan atau dikapitalisasi?” Inilah pertanyaan yang
paling lumrah dalam urusan pengakuan atas pengeluaran. Begitu sering
ditanyakan. Rupanya, kebingungan antara
‘membebankan-membiayakan-atau-mengkapitalisasi’ suatu pengeluaran masih sering
terjadi.
Beberapa pertanyaan yang kerap
muncul diantaranya:
“Renovasi tempat parkir, apakah
langsung diakui sebagai beban atau dikapitalisasi?” atau
“Saya ada pengeluaran untuk
penggantian sparepart mesin, apakah diakui sebagai beban, biaya, atau
dikapitalisasi?” atau
“Saya bekerja di pabrik. Januari
kemarin ada pengeluaran untuk membuat pakaian seragam karyawan yang jumlahnya
mencapai 400 orang. Apakah diakui sebagai beban atau biaya?” atau
“Ada pembelian staples 5 biji.
Sebaiknya langsung dibebankan atau dikapitalisasi.”
Dan berbagai variasi pertanyaan
serupa yang menyiratkan adanya keragu-raguan antara membebankan, membiayakan
atau mengkapitalisasi suatu pengeluaran.
Jawaban atas pertanyaan ini, saya
pikir ada baiknya jika dituangkan dalam artikel khusus saja. Mudah-mudahan bisa
menjadi panduan sederhana yang bisa dibaca oleh mereka yang mengalami
kebingungan yang sama.
Sebenarnya bukan persoalan yang
sulit. Hanya saja, perlu memahami konsep dasarnya terlebih dahulu.
Konsep apa itu? Konsep pengakuan atas pengeluaran. Konkoretnya:
- Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Aset (Asset)
- Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Beban
(Expense)
- Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Biaya (Cost)
Perlu saya garisbawahi, konsep ini
sifatnya fundamental, thus WAJIB, KUDU, TIDAK BOLEH TIDAK, HARUS dipahami oleh
siapapun yang ingin menguasai akuntansi dengan baik.
Pengeluaran,
Aset, Beban dan Biaya
Publik luas, yang sebagian besarnya
adalah kalangan non-keuangan, tidak mengenal istilah BEBAN (expense)
atau BIAYA (cost), mereka tahunya PENGELUARAN (expenditure).
Mereka tidak bertanya “berapa
beban gaji bulan ini” melainkan “berapa pengeluaran gaji bulan ini.”
Mereka tidak bertanya “berapa biaya perolehan mesin” melainkan “berapa
pengeluaran untuk beli mesin.” Dan lain sebagainya.
Namun, yang namanya
pengeluaran—terlebih-lebih di dalam perusahaan—jenisnya banyak. Dalam
akuntansi, pengeluaran yang beragam ini harus dipilah-pilah lalu
dikelompok-kelompokkan, sehingga lebih mudah dikontrol dan dianalisa.
Salahsatu pemilahan pengeluaran yang
paling fundamental adalah pemisahan antara pengeluaran untuk sesuatu yang
manfaatnya BELUM DINIKMATI dan pengeluaran yang manfaatnya TELAH DINIKMATI.
1. Pengeluaran-pengeluaran
yang—untuk sementara—manfaatnya BELUM DINIKMATI diakui sebagai ASSET (aset).
2. Pengeluaran-pengeluaran yang
manfaatnya TELAH DINIKMATI diakui sebagai:
(a) BIAYA (Cost) – bila BERHUBUNGAN dengan aktivitas pembentukan
jasa/produk yang dijual
(b) BEBAN (Expense) – bila TIDAK BERHUBUNGAN dengan aktivitas
pembentukan jasa/produk yang dijual.
Pertanyaan: Kapan diakui?
Ilustrasi Kasus:
Pada 29 April, Anita (staff
accounting PT JAK) mendapati 100 lembar nota pembelian solar secara tunai yang
jika ditotal mencapai 4100 liter dengan nilai Rp 20,500,000. Sebelum melakukan
pencatatan Anita harus memilah-milah keseratus nota tersebut; mana nota
pembelian solar yang manfaatnya telah langsung dinikmati dan mana yang
manfaatnya—untuk sementara—belum dinikmati oleh perusahaan.
Setelah bertanya ke Purchasing dan
gudang, ia memperoleh informasi bahwa dari 4100 liter solar yang dibeli:
2500 liter, senilai Rp 12,500,000,
belum digunakan, untuk sementara disimpanan di gudang.
1460 liter, senilai Rp 7,300,000, telah digunakan untuk menjalankan mesin
produksi.
140 liter, senilai Rp 700,000, telah digunakan untuk operasional mobil pickup
perusahaan.
Dengan menggunakan konsep pemilahan
ASET, BIAYA dan BEBAN, maka pada tanggal 29 April Anita mencatat (mengakui)
pengeluaran solar tersebut sbb:
[Debit]. Uang Muka Solar = Rp
12,500,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Debit]. Persediaan WIP – Overhead = Rp 7,300,000 => Aset (manfaat belum
dinikmati)
[Debit]. Beban Operasional – Solar = Rp 700,000 => Beban (manfaat telah
dinikmati)
[Kredit]. Kas = Rp 20,500,000 => Aset Kas perusahaan dikorbankan untuk beli
solar
Pemilahan ini sangat penting, untuk
2 alasan:
1. Untuk memenuhi “konsep
kesesuaian” (matching concept).
Konsep ini mengamanatkan, setiap beban dan biaya yang diakui harus bisa
dihubungkan dengan pendapatan (revenue) yang dihasilkan pada periode yang sama.
Pengeluaran solar senilai Rp 12,500,000 (2500 liter) tidak bisa dihubungkan
dengan revenue PT JAK di periode April sebab belum digunakan samasekali, thus
diakui sebagai Aset. Pengeluaran solar Rp 7,300,000 (1460 liter) untuk
sementara juga belum bisa dihubungkan dengan revenue PT JAK di periode April
sebab barang yang diproduksi masih dalam proses, thus diakui sebagai Persediaan
Work-In-Process (WIP). Sedangkan pengeluaran solar Rp 700,000 (140 liter)
digunakan untuk menunjang kelancaran operasional perusahaan, thus diakui
sebagai Beban Operasional di periode yang sama. Andai pengeluaran solar
seluruhnya Rp 20,500,000 dicatat sebagai beban operasional untuk periode yang sama,
maka pengakuan beban menjadi terlalu besar thus tidak bersesuaian (unmatched)
dengan revenue yang dihasilkan oleh PT JAK di periode April.
2. Untuk tujuan pengendalian dan
analisa. Pemisahan antara pengeluaran untuk
perolehan Aset, Biaya dan Beban, seperti diatas, membuat manajemen PT JAK bisa
melakukan pengendalian; apakah Beban Solar Rp 700,000 untuk satu bulan
operasional PT JAK wajar. Manajemen juga bisa
menghubungkan antara pengakuan Persediaan WIP-Overhead Solar dengan volume
produksi pada periode tersebut. Dan, manajemen bisa menilai apakah menyimpan
solar sebanyak 2500 liter (Rp 12,500,000) itu sesuai dengan tingkat kebutuhan
produksi di periode berikutnya. Andai tidak dipilah-pilah seperti di atas,
manajemen takkan bisa melakukan pengawasan dengan baik.
Bagaimana nasib pengeluaran-pengeluaran
ini selanjutnya?
1. Beban Operasional – Solar Rp
700,000 – Di akhir Periode April masuk ke
Laba/Rugi, tutup buku, tutup cerita. Porsi kas untuk pengeluaran ini habis
digunakan (used-up), dikorbankan (sacrified) untuk menunjang kelancaran
operasional perusahaan. Nasib Kas sejumlah Rp 700,000 habis, finished, entek,
finito, sampai di sini. It has been gone for good, pergi meninggalkan
perusahaan untuk selama-lamanya dan takkan pernah kembali lagi. Pengeluaran
yang seperti inilah yang diakui sebagai “BEBAN” alias “EXPENSE”.
2. Uang Muka Solar Rp 12,500,000 – Jika di Periode Mei digunakan untuk menjalankan mesin
produksi, maka persediaan uang muka solar berubah bentuk menjadi Persediaan
WIP-Overhead. Anita mengakui perubahan ini dengan jurnal sbb:
[Debit] Persediaan WIP – Overhead =
Rp 12,500,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Kredit]. Uang Muka Solar = Rp 12,500,000 => Saldo Uang Muka Solar menjadi
NOL.
(Catatan: Di satu sisinya Uang Muka Solar menjadi NOL dan di sisi lainnya
Persediaan WIP –Overhead bertambah).
3. Persediaan WIP – Overhead Rp
7,300,000 – Jika, pada periode Mei, barang
dalam proses—yang menghabiskan 1460 liter solar ini—selesai dikerjakan, maka
persediaan WIP-Overhead berubah bentuk menjadi Persediaan Barang Jadi. Atas
perubahan itu Anita membuat pengakuan dengan jurnal sbb:
[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp
7,300,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Kredit] Persediaan WIP – Overhead = Rp 7,300,000 => Saldo Persediaan
WIP-Overhead berkurang.
(Catatan: Di satu sisi Aset
Persediaan Barang Jadi bertambah dan di sisi lainnya Persediaan WIP-Overhead
berkurang).
Demikianlah nasib
pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya belum dinikmati—untuk sementara—terus
mengalami perubahan bentuk dari suatu ASET menjadi ASET lainnya, hanya
berpindah-pindah post namun masih tetap berada di kelompok ASET pada Neraca.
Sampai kapan perubahan bentuk itu
berakhir? Sampai BISA DIHUBUNGKAN (matched)
dengan Pendapatan (Revenue), seperti diamanatkan oleh matching concept, yakni
saat Persediaan Barang Jadi terjual.
Ketika Persediaan terjual,
pengeluaran ini berubah menjadi BIAYA (Cost), yakni “Cost of Goods Sold” alias
“Harga Pokok Penjualan” (HPP) yang dijurnal dengan:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan
(COGS) => Biaya (masuk Laba/Rugi, tutup buku).
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi => Mengurangi Aset (Persediaan Barang Jadi
pada Neraca)
Dan
[Debit]. Piutang Dagang => Aset
(Piutang masuk pada Neraca)
[Kredit]. Penjualan => Pendapatan/Revenue (masuk Laba/Rugi, tutup buku)
(Catatan: Dua pasang jurnal di
atas mempertemukan “Cost of Goods Sold” dengan “Revenue” pada Laporan
Laba/Rugi, sekaligus menaikkan Aset “Piutang” pada Neraca.)
Jika digambarkan dengan diagram
alur, maka rute perjalanan yang ditempuh oleh pengeluaran solar pada kasus PT
JAK, sejak awal hingga akhir, adalah sebagai berikut:
Kas (700,000) => Beban
Operasional Solar => Laba/Rugi
Kas (19,800,000) => Uang Muka
Solar => Persediaan WIP – Overhead => Persediaan Barang Jadi:
=> Persediaan Barang Jadi =>
COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi =>
Piutang => Neraca
Suatu ketika “Piutang” akan berubah
bentuk menjadi “Kas” => Neraca
Pengeluaran-pengeluaran selain solar
juga mengalami nasib yang sama.
Pengeluaran untuk membeli bahan baku
misalnya. Pengeluaran ini manfaatnya belum
dinikmati sehingga—untuk sementara diakui sebagai aset, yakni “Persediaan Bahan
Baku,” lalu berubah menjadi “Persediaan WIP”, terakhir baru menjadi “Persediaan
Barang Jadi”. Sehingga siklusnya juga sama seperti di atas:
Kas => Persediaan Bahan Baku
=> Persediaan WIP – Bahan Baku => Persediaan Barang Jadi
=> Persediaan Barang Jadi =>
COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi =>
Piutang => Neraca
Pengeluaran untuk bayar pegawai,
contoh berikutnya. Porsi pengeluaran gaji untuk
office staf dan manager diakui sebagai “Beban Operasional-Gaji” sebab
manfaatnya telah dinikmati dan habis. Sementara porsi pengeluaran upah buruh
pabrik—untuk sementara—belum bisa dinikmati, sehingga mengalami nasib yang sama
seperti solar di atas, hanya berubah bentuk dari satu aset ke aset lainnya,
sbb:
Kas => Persediaan WIP – Labor
=> Persediaan Barang Jadi
=> Persediaan Barang Jadi =>
COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi =>
Piutang => Neraca
Pengeluaran untuk membeli Mesin
Produksi, sebagai contoh lainnya.
Juga bernasib sama. Awalnya diakui sebagai “Aset Tetap – Mesin Produksi.”
Selanjutnya tiap periode disusutkan sesuai penggunaannya, sehingga SEBAGIAN
PORSI mesin (yang disusutkan) juga mengalami perubahan bentuk sbb:
Kas => Aset Tetap – Mesin
Produksi => Persediaan WIP – Overhead Penyusutan => Persediaan Barang
Jadi.
=> Persediaan Barang Jadi =>
COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi =>
Piutang => Neraca
Catatan: Aset Tetap Mesin terus disusutkan, dan porsi yang
disusutkan mengalami siklus perubahan bentuk seperti di atas, hingga seluruh
nilai perolehan mesin habis (ber-Nilai Buku NOL). Karena memakan waktu lama,
maka kelompok aset ini sering disebut “Aset Jangka Panjang.”
Pengeluaran untuk membeli komputer
sebagai contoh terakhir. Awalnya
diakui sebagai “Aset Tetap – Komputer.” Selanjutnya, setiap periode disusutkan
sesuai penggunaannya. Karena komputer tidak berhubungan langsung dengan
pembentukan barang/jasa yang akan menghasilkan revenue, maka penyusutannya
langsung diakui sebagai “Beban Operasional – Penyusutan Komputer.” Sehingga
bagan alurnya menjadi sbb:
Kas => Aset Tetap – Komputer
=> Beban Operasional – Penyusutan Komputer => Laba/Rugi
“Bagaimana untuk bidang usaha
Perdagangan?” mungkin ada yang berpikir demikian.
Konsep dasarnya tetap sama;
pengeluaran yang manfaatnya telah dinikmati dan tidak ada hubungannya dengan
proses pembentukan barang yang akan dijual, diakui sebagai “Beban Operasional”
pada periode saat pengeluaran terjadi. Yang berbeda hanya siklus untuk
“pengeluaran yang manfaatnya belum dinikmati” lebih pendek. Sebab tidak ada
proses pembuatan barang. Otomatis tidak ada pengeluaran yang diakui sebagai
persediaan bahan baku dan Persediaan WIP.
Untuk pengeluaran yang manfaatnya
telah dinikmati dan tak ada hubungannya dengan barang yang akan dijual, bagan
alurnya sbb:
Kas => Beban Operasional =>
Laba/Rugi
Untuk pengeluaran yang manfaatnya
belum dinikmati, bagan alurnya sbb:
Kas => Persediaan Barang Jadi
=> COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi =>
Piutang => Neraca
“Bagaimana dengan Bidang Usaha
Jasa?” pertanyaan lainnya, mungkin. Konsepnya tetap sama. Hanya saja,
karena yang dijual berupa jasa, maka revenue yang dihasilkan di-matched dengan
“Cost of Sales” atau “Cost of Revenue” (bukan Cost of Goods Sold).
Sub-Summary
Sampai di sini, supaya tidak keburu
puyeng, ada beberapa point utama yang ingin saya tekankan kembali.
1. Suatu pengeluaran (expenditure),
diakui sebagai:
(a) ASET (Asset), bila digunakan untuk memperoleh sesuatu yang manfaatnya
BELUM DINIKMATI (pengakuan dilakukan saat terjadi/saat diperoleh); atau
(b) BIAYA (Cost), bila digunakan untuk memperoleh sesuatu yang
manfaatnya SUDAH DINIKMATI dan BERHUBUNGAN dengan proses pembentukan
barang/jasa yang menghasilkan revenue (pengakuan dilakukan saat barang/jasa
yang dibentuk terjual); atau
(c) BEBAN (Expense), bila bila digunakan untuk memperoleh sesuatu
yang manfaatnya SUDAH DINIKMATI namun TIDAK BERHUBUNGAN dengan proses
pembentukan barang/jasa yang menghasilkan revenue, dengan kata lain hanya
menunjang kelancaran operasional perusahaan (pengakuan dilakukan pada saat
terjadi).
2. Dalam perjalanan operasional
perusahaan, secara bertahap Aset akan mengalami perubahan-perubahan bentuk. Ada aset yang berubah bentuk menjadi aset lainnya. Ada
juga yang secara bertahap berubah bentuk menjadi biaya (cost) atau beban
(expense). Masing-masing perubahan bentuk ini diakui pada saat terjadi,
sehingga mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Apakah masih perlu definisi “Beban”,
“Biaya” dan “Aset”?
Saya rasa tidak. Setelah memahami
konsep di atas, saya yakin anda mampu membuat definisi “BEBAN” (Expense),
“BIAYA” (Cost) dan “ASET” (Aset)—dengan menggunakan bahasanya sendiri—secara
benar, tanpa perlu menghafalkan definisi dari buku manapun.
Ragu
Dalam Memilah Antara Membebankan, Membiayakan atau Mengkapitalisasi
Setelah paham konsep-konsep
dasarnya, saya yakin anda takkan ragu lagi dalam menentukan apakah suatu
pengeluaran sebaiknya “dibebankan langsung, dibiayakan, atau dikapitalisasi.”
Pengeluaran apapun itu.
Seingat saya, konsep ini telah
diajarkan sejak dibangku sekolah/kuliah, meskipun mungkin disampaikan dengan
cara yang berbeda. Akan tetapi, bisa dimaklumi jika setelah lulus dan
bekerjapun masih sering mengalami keraguan (di awal-awal karir saya juga
seperti itu). Sebab untuk bisa benar-benar mantap menguasai konsep ini secara
praktikal, seseorang perlu memahami:
1. Siklus alur proses pembentukan
pendapatan (revenue). Sayangnya, alur ini berbeda antara
satu bidang usaha dengan bidang usaha lainnya, sehingga—secara teknis—akan
sulit membayangkan bila belum pernah bekerja di masing-masing bidang usaha
tersebut. Apalagi belum pernah bekerja samasekali.
2. Siklus alur proses aktivitas
operasional perusahaan dalam gambar besar (the big picture). Sama seperti yang di atas, ini juga berbeda antara satu
bidang usaha dengan bidang usaha lainnya. Bahkan, perusahaan-perusahaan sejenis
pun bisa jadi karakter operasionalnya agak berbeda antara yang satu dengan
lainnya.
3. Asosiasi antara suatu pengeluaran
dengan suatu aktivitas operasional di dalam perusahaan. Ini bisa sangat berbeda antara satu usaha dengan usaha
lainnya. Misalnya, pengeluaran untuk membeli bensin antara perusahaan freight
forwarder (cargo) dengan perusahaan biro perjalanan (travel agent) juga
berbeda. Kecuali sudah pernah bekerja di perusahaan sejenis, seseorang akan
mengalami kesulitan untuk mengasosiasiakan pengeluaran-pengeluaran tertentu
dengan aktivitas tertentu di dalam perusahaan.
SARAN/MASUKAN: Khususnya untuk rekan yang baru pertamakali bekerja, saran
saya, pahami ketiga hal di atas. Pelajari alur proses pembentukan revenue pada
perusahaan dimana anda bekerja. Untuk memahami ini anda perlu memahami alur
proses operasional perusahaan. Pembelajaran bisa dilakukan—pada waktu senggang
(misalnya jam istirahat)—dengan cara mengunjungi semua bagian perusahaan (dari
gerbang masuk utama sampai pojokan belakang gedung). Lihat apa yang mereka
lakukan. Jika memungkinkan, tanya orang-orang yang ada di sana.
Sebagai tambahan, saya akan share
beberapa tips khusus dalam menghadapi beberapa tipikal pengeluaran yang kerap
menimbulkan keraguan dalam memilah.
Tips
and Trick: Dibebankan Langsung, Dibiayakan atau Dikapitalisasi?
Ada beberapa tipikal pengeluaran
yang kerap menimbulkan keraguan dalam memutuskan antara dibebankan langsung,
dibiayakan atau dikapitalisasi. Berikut adalah beberapa shortcut—berpikir—yang
bisa anda gunakan untuk mengatasi keragu-raguan itu:
1. Lihat Catatan Sebelumnya – Jika perusahaan sudah punya buku, lihat catatan
sebelumnya untuk transaksi yang sama. Kalau tidak ketemu yang sama persis, cari
yang kasusnya mirip. Jika arsip tersusun per vendor, cari pada arsip untuk
vendor yang sama. Jika arsip disusun per akun, cari arsip di akun yang sama.
Jika tak ketemu, gunakan cara berikutnya.
2. Tanya Atasan – Saat anda dalam keragu-raguan, mengenai hal apapun itu
terkait pekerjaan, cara yang paling bagus untuk mengatasinya adalah dengan
bertanya. Jika anda punya atasan, tanya dia, “Pak/Bu/Kak/Mas/Mbak… pengeluaran
ini dicatat sebagai apa ya?” Yang paling penting CATAT juga jawabannya, agar lain
kali lupa bisa dibuka.
3. Transaksi Immaterial – Untuk pengeluaran yang nilainya kecil (immaterial),
membeli staples seperti disebutkan pada contoh pertanyaan di awal tulisan ini
misalnya, atau pengeluaran apapun itu, jangan ragu-ragu, langsung BEBANKAN.
Mengapa? Sebab pengeluaran kecil macam ini takkan merusak matching-concept,
enggak ngaruh. Sedangkan jika anda akui sebagai ASET, anda harus track terus
sampai pengeluaran itu berubah menjadi cost atau expense, dan itu sia-sia,
worthless. Batas besar-atau-kecilnya berapa? Bandingkan dengan
total revenue di periode sebelumnya; jika revenue mencapai ratusan juta,
sementara pengeluaran yanga anda ragukan dibawah ratusan ribu rupiah, berarti
immaterial. Jika revenue ada di angka miliaran sementara pengeluaran yang anda
ragukan di bawah satu juta rupiah, berarti immaterial.
4. Pengeluaran Besar Tapi Tak Cocok
Masuk Aset – Cocok tak cocok dalam hal ini
kerap sifatnya subyektif, pemahaman delusional. Pola pikir delusional ini bisa
terjadi karena terkungkung oleh pemahaman bahwa “kelompok aset itu terdiri
dari: Kas, Piutang, Uang Muka, Persediaan dan Aset Tetap.” Sementara yang
dianggap uang muka itu hanya “biaya sewa dibayar dimuka, biaya asuransi
dibayar dimuka.” Mulai sekarang, sadari bahwa: Kecuali pembayaran Gaji
office staff, Listrik, Telepon, Perjalanan Dinas dan pengeluaran rutin lainnya
yang obviously tergolong “Beban Operasional”, pengeluaran besar lainnya (apapun
itu) PASTI masuk ke ASET. Mengapa? Sebab tak ada perusahaan yang
mau mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang manfaatnya langsung habis
dinikmati begitu saja, kecuali yang sudah bersifat rutin. Jika tak ada akun
yang dianggap cocok, buat akun baru (tentu minta persetujuan terlebih dahulu).
Sebagai contoh, kasus pengeluaran solar di atas. Diakui sebagai Persediaan tak
sesuai, diakui sebagai Aset Tetap juga tak cocok. Namun nyatanya bisa diakui
sebagai “Uang Muka Solar” pada kelompok Aset. Kenapa tidak, yang penting sesuai
konsep di atas.
5. Pengeluaran
Maintenance/Pemeliharaan Bernilai Besar
– Pengeluaran untuk pemeliharaan (maintenance) yang nilainya besar, harus
dikapitalisasi ke Aset Tetap terkait. Mengapa? Sebab pemeliharaan yang nilainya
besar sudah pasti akan memperpanjang umur ekonomik (usia manfaat) aset terkait.
Sebaliknya, jika dipaksakan masuk ke “Beban Operasional Pemeliharaan” akan
merusak matching concept. Kapitalisasi ke aset terkait dilakukan dengan cara
mengurangi saldo akun “Akumulasi Penyusutan.” Karena akun Akumulasi Penyusutan
bersaldo kredit, maka pengurangan dilakukan dengan cara men-DEBIT. Setelah
saldo ini didebit, maka Nilai Buku aset otomatis meningkat sejumlah pengeluaran
maintenance.