Kamis, 25 Desember 2014

Pengakuan : di biayakan, dibebankan, atau dikapitalissi



Pengakuan: Langsung Dibebankan, Dibiayakan, Dikapitalisasi?
Pengakuan: Langsung Dibebankan, Dibiayakan, Dikapitalisasi?
Apakah suatu pengeluaran sebaiknya langsung dibebebankan, dibiayakan atau dikapitalisasi?” Inilah pertanyaan yang paling lumrah dalam urusan pengakuan atas pengeluaran. Begitu sering ditanyakan. Rupanya, kebingungan antara ‘membebankan-membiayakan-atau-mengkapitalisasi’ suatu pengeluaran masih sering terjadi.
Beberapa pertanyaan yang kerap muncul diantaranya:
Renovasi tempat parkir, apakah langsung diakui sebagai beban atau dikapitalisasi?” atau
Saya ada pengeluaran untuk penggantian sparepart mesin, apakah diakui sebagai beban, biaya, atau dikapitalisasi?” atau
Saya bekerja di pabrik. Januari kemarin ada pengeluaran untuk membuat pakaian seragam karyawan yang jumlahnya mencapai 400 orang. Apakah diakui sebagai beban atau biaya?” atau
Ada pembelian staples 5 biji. Sebaiknya langsung dibebankan atau dikapitalisasi.”
Dan berbagai variasi pertanyaan serupa yang menyiratkan adanya keragu-raguan antara membebankan, membiayakan atau mengkapitalisasi suatu pengeluaran.
Jawaban atas pertanyaan ini, saya pikir ada baiknya jika dituangkan dalam artikel khusus saja. Mudah-mudahan bisa menjadi panduan sederhana yang bisa dibaca oleh mereka yang mengalami kebingungan yang sama.
Sebenarnya bukan persoalan yang sulit. Hanya saja, perlu memahami konsep dasarnya terlebih dahulu.
Konsep apa itu? Konsep pengakuan atas pengeluaran. Konkoretnya:
  • Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Aset (Asset)
  • Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Beban (Expense)
  • Pengeluaran yang bagaimana diakui sebagai Biaya (Cost)
Perlu saya garisbawahi, konsep ini sifatnya fundamental, thus WAJIB, KUDU, TIDAK BOLEH TIDAK, HARUS dipahami oleh siapapun yang ingin menguasai akuntansi dengan baik.

Pengeluaran, Aset, Beban dan Biaya
Publik luas, yang sebagian besarnya adalah kalangan non-keuangan, tidak mengenal istilah BEBAN (expense) atau BIAYA (cost), mereka tahunya PENGELUARAN (expenditure).
Mereka tidak bertanya “berapa beban gaji bulan ini” melainkan “berapa pengeluaran gaji bulan ini.” Mereka tidak bertanya “berapa biaya perolehan mesin” melainkan “berapa pengeluaran untuk beli mesin.” Dan lain sebagainya.
Namun, yang namanya pengeluaran—terlebih-lebih di dalam perusahaan—jenisnya banyak. Dalam akuntansi, pengeluaran yang beragam ini harus dipilah-pilah lalu dikelompok-kelompokkan, sehingga lebih mudah dikontrol dan dianalisa.
Salahsatu pemilahan pengeluaran yang paling fundamental adalah pemisahan antara pengeluaran untuk sesuatu yang manfaatnya BELUM DINIKMATI dan pengeluaran yang manfaatnya TELAH DINIKMATI.
1. Pengeluaran-pengeluaran yang—untuk sementara—manfaatnya BELUM DINIKMATI diakui sebagai ASSET (aset).
2. Pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya TELAH DINIKMATI diakui sebagai:
(a) BIAYA (Cost) – bila BERHUBUNGAN dengan aktivitas pembentukan jasa/produk yang dijual
(b) BEBAN (Expense) – bila TIDAK BERHUBUNGAN dengan aktivitas pembentukan jasa/produk yang dijual.

Pertanyaan: Kapan diakui?
Ilustrasi Kasus:
Pada 29 April, Anita (staff accounting PT JAK) mendapati 100 lembar nota pembelian solar secara tunai yang jika ditotal mencapai 4100 liter dengan nilai Rp 20,500,000. Sebelum melakukan pencatatan Anita harus memilah-milah keseratus nota tersebut; mana nota pembelian solar yang manfaatnya telah langsung dinikmati dan mana yang manfaatnya—untuk sementara—belum dinikmati oleh perusahaan.
Setelah bertanya ke Purchasing dan gudang, ia memperoleh informasi bahwa dari 4100 liter solar yang dibeli:
2500 liter, senilai Rp 12,500,000, belum digunakan, untuk sementara disimpanan di gudang.
1460 liter, senilai Rp 7,300,000, telah digunakan untuk menjalankan mesin produksi.
140 liter, senilai Rp 700,000, telah digunakan untuk operasional mobil pickup perusahaan.
Dengan menggunakan konsep pemilahan ASET, BIAYA dan BEBAN, maka pada tanggal 29 April Anita mencatat (mengakui) pengeluaran solar tersebut sbb:
[Debit]. Uang Muka Solar = Rp 12,500,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Debit]. Persediaan WIP – Overhead = Rp 7,300,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Debit]. Beban Operasional – Solar = Rp 700,000 => Beban (manfaat telah dinikmati)
[Kredit]. Kas = Rp 20,500,000 => Aset Kas perusahaan dikorbankan untuk beli solar

Pemilahan ini sangat penting, untuk 2 alasan:
1. Untuk memenuhi “konsep kesesuaian” (matching concept). Konsep ini mengamanatkan, setiap beban dan biaya yang diakui harus bisa dihubungkan dengan pendapatan (revenue) yang dihasilkan pada periode yang sama. Pengeluaran solar senilai Rp 12,500,000 (2500 liter) tidak bisa dihubungkan dengan revenue PT JAK di periode April sebab belum digunakan samasekali, thus diakui sebagai Aset. Pengeluaran solar Rp 7,300,000 (1460 liter) untuk sementara juga belum bisa dihubungkan dengan revenue PT JAK di periode April sebab barang yang diproduksi masih dalam proses, thus diakui sebagai Persediaan Work-In-Process (WIP). Sedangkan pengeluaran solar Rp 700,000 (140 liter) digunakan untuk menunjang kelancaran operasional perusahaan, thus diakui sebagai Beban Operasional di periode yang sama. Andai pengeluaran solar seluruhnya Rp 20,500,000 dicatat sebagai beban operasional untuk periode yang sama, maka pengakuan beban menjadi terlalu besar thus tidak bersesuaian (unmatched) dengan revenue yang dihasilkan oleh PT JAK di periode April.

2. Untuk tujuan pengendalian dan analisa. Pemisahan antara pengeluaran untuk perolehan Aset, Biaya dan Beban, seperti diatas, membuat manajemen PT JAK bisa melakukan pengendalian; apakah Beban Solar Rp 700,000 untuk satu bulan operasional PT JAK wajar. Manajemen juga bisa menghubungkan antara pengakuan Persediaan WIP-Overhead Solar dengan volume produksi pada periode tersebut. Dan, manajemen bisa menilai apakah menyimpan solar sebanyak 2500 liter (Rp 12,500,000) itu sesuai dengan tingkat kebutuhan produksi di periode berikutnya. Andai tidak dipilah-pilah seperti di atas, manajemen takkan bisa melakukan pengawasan dengan baik.

Bagaimana nasib pengeluaran-pengeluaran ini selanjutnya?
1. Beban Operasional – Solar Rp 700,000 – Di akhir Periode April masuk ke Laba/Rugi, tutup buku, tutup cerita. Porsi kas untuk pengeluaran ini habis digunakan (used-up), dikorbankan (sacrified) untuk menunjang kelancaran operasional perusahaan. Nasib Kas sejumlah Rp 700,000 habis, finished, entek, finito, sampai di sini. It has been gone for good, pergi meninggalkan perusahaan untuk selama-lamanya dan takkan pernah kembali lagi. Pengeluaran yang seperti inilah yang diakui sebagai “BEBAN” alias “EXPENSE”.

2. Uang Muka Solar Rp 12,500,000 – Jika di Periode Mei digunakan untuk menjalankan mesin produksi, maka persediaan uang muka solar berubah bentuk menjadi Persediaan WIP-Overhead. Anita mengakui perubahan ini dengan jurnal sbb:
[Debit] Persediaan WIP – Overhead = Rp 12,500,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Kredit]. Uang Muka Solar = Rp 12,500,000 => Saldo Uang Muka Solar menjadi NOL.
(Catatan: Di satu sisinya Uang Muka Solar menjadi NOL dan di sisi lainnya Persediaan WIP –Overhead bertambah).

3. Persediaan WIP – Overhead Rp 7,300,000 – Jika, pada periode Mei, barang dalam proses—yang menghabiskan 1460 liter solar ini—selesai dikerjakan, maka persediaan WIP-Overhead berubah bentuk menjadi Persediaan Barang Jadi. Atas perubahan itu Anita membuat pengakuan dengan jurnal sbb:
[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 7,300,000 => Aset (manfaat belum dinikmati)
[Kredit] Persediaan WIP – Overhead = Rp 7,300,000 => Saldo Persediaan WIP-Overhead berkurang.
(Catatan: Di satu sisi Aset Persediaan Barang Jadi bertambah dan di sisi lainnya Persediaan WIP-Overhead berkurang).
Demikianlah nasib pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya belum dinikmati—untuk sementara—terus mengalami perubahan bentuk dari suatu ASET menjadi ASET lainnya, hanya berpindah-pindah post namun masih tetap berada di kelompok ASET pada Neraca.

Sampai kapan perubahan bentuk itu berakhir? Sampai BISA DIHUBUNGKAN (matched) dengan Pendapatan (Revenue), seperti diamanatkan oleh matching concept, yakni saat Persediaan Barang Jadi terjual.
Ketika Persediaan terjual, pengeluaran ini berubah menjadi BIAYA (Cost), yakni “Cost of Goods Sold” alias “Harga Pokok Penjualan” (HPP) yang dijurnal dengan:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan (COGS) => Biaya (masuk Laba/Rugi, tutup buku).
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi => Mengurangi Aset (Persediaan Barang Jadi pada Neraca)
Dan
[Debit]. Piutang Dagang => Aset (Piutang masuk pada Neraca)
[Kredit]. Penjualan => Pendapatan/Revenue (masuk Laba/Rugi, tutup buku)
(Catatan: Dua pasang jurnal di atas mempertemukan “Cost of Goods Sold” dengan “Revenue” pada Laporan Laba/Rugi, sekaligus menaikkan Aset “Piutang” pada Neraca.)
Jika digambarkan dengan diagram alur, maka rute perjalanan yang ditempuh oleh pengeluaran solar pada kasus PT JAK, sejak awal hingga akhir, adalah sebagai berikut:
Kas (700,000) => Beban Operasional Solar => Laba/Rugi
Kas (19,800,000) => Uang Muka Solar => Persediaan WIP – Overhead => Persediaan Barang Jadi:
=> Persediaan Barang Jadi => COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi => Piutang => Neraca
Suatu ketika “Piutang” akan berubah bentuk menjadi “Kas” => Neraca
Pengeluaran-pengeluaran selain solar juga mengalami nasib yang sama.

Pengeluaran untuk membeli bahan baku misalnya. Pengeluaran ini manfaatnya belum dinikmati sehingga—untuk sementara diakui sebagai aset, yakni “Persediaan Bahan Baku,” lalu berubah menjadi “Persediaan WIP”, terakhir baru menjadi “Persediaan Barang Jadi”. Sehingga siklusnya juga sama seperti di atas:
Kas => Persediaan Bahan Baku => Persediaan WIP – Bahan Baku => Persediaan Barang Jadi
=> Persediaan Barang Jadi => COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi => Piutang => Neraca

Pengeluaran untuk bayar pegawai, contoh berikutnya. Porsi pengeluaran gaji untuk office staf dan manager diakui sebagai “Beban Operasional-Gaji” sebab manfaatnya telah dinikmati dan habis. Sementara porsi pengeluaran upah buruh pabrik—untuk sementara—belum bisa dinikmati, sehingga mengalami nasib yang sama seperti solar di atas, hanya berubah bentuk dari satu aset ke aset lainnya, sbb:
Kas => Persediaan WIP – Labor => Persediaan Barang Jadi
=> Persediaan Barang Jadi => COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi => Piutang => Neraca

Pengeluaran untuk membeli Mesin Produksi, sebagai contoh lainnya. Juga bernasib sama. Awalnya diakui sebagai “Aset Tetap – Mesin Produksi.” Selanjutnya tiap periode disusutkan sesuai penggunaannya, sehingga SEBAGIAN PORSI mesin (yang disusutkan) juga mengalami perubahan bentuk sbb:
Kas => Aset Tetap – Mesin Produksi => Persediaan WIP – Overhead Penyusutan => Persediaan Barang Jadi.
=> Persediaan Barang Jadi => COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi => Piutang => Neraca
Catatan: Aset Tetap Mesin terus disusutkan, dan porsi yang disusutkan mengalami siklus perubahan bentuk seperti di atas, hingga seluruh nilai perolehan mesin habis (ber-Nilai Buku NOL). Karena memakan waktu lama, maka kelompok aset ini sering disebut “Aset Jangka Panjang.”

Pengeluaran untuk membeli komputer sebagai contoh terakhir. Awalnya diakui sebagai “Aset Tetap – Komputer.” Selanjutnya, setiap periode disusutkan sesuai penggunaannya. Karena komputer tidak berhubungan langsung dengan pembentukan barang/jasa yang akan menghasilkan revenue, maka penyusutannya langsung diakui sebagai “Beban Operasional – Penyusutan Komputer.” Sehingga bagan alurnya menjadi sbb:
Kas => Aset Tetap – Komputer => Beban Operasional – Penyusutan Komputer => Laba/Rugi

Bagaimana untuk bidang usaha Perdagangan?” mungkin ada yang berpikir demikian.
Konsep dasarnya tetap sama; pengeluaran yang manfaatnya telah dinikmati dan tidak ada hubungannya dengan proses pembentukan barang yang akan dijual, diakui sebagai “Beban Operasional” pada periode saat pengeluaran terjadi. Yang berbeda hanya siklus untuk “pengeluaran yang manfaatnya belum dinikmati” lebih pendek. Sebab tidak ada proses pembuatan barang. Otomatis tidak ada pengeluaran yang diakui sebagai persediaan bahan baku dan Persediaan WIP.
Untuk pengeluaran yang manfaatnya telah dinikmati dan tak ada hubungannya dengan barang yang akan dijual, bagan alurnya sbb:
Kas => Beban Operasional => Laba/Rugi
Untuk pengeluaran yang manfaatnya belum dinikmati, bagan alurnya sbb:
Kas => Persediaan Barang Jadi => COGS & Revenue => Laba/Rugi
=> Persediaan Barang Jadi => Piutang => Neraca

Bagaimana dengan Bidang Usaha Jasa?” pertanyaan lainnya, mungkin. Konsepnya tetap sama. Hanya saja, karena yang dijual berupa jasa, maka revenue yang dihasilkan di-matched dengan “Cost of Sales” atau “Cost of Revenue” (bukan Cost of Goods Sold).

Sub-Summary
Sampai di sini, supaya tidak keburu puyeng, ada beberapa point utama yang ingin saya tekankan kembali.
1. Suatu pengeluaran (expenditure), diakui sebagai:

(a) ASET (Asset), bila digunakan untuk memperoleh sesuatu yang manfaatnya BELUM DINIKMATI (pengakuan dilakukan saat terjadi/saat diperoleh); atau
(b) BIAYA (Cost), bila digunakan untuk memperoleh sesuatu yang manfaatnya SUDAH DINIKMATI dan BERHUBUNGAN dengan proses pembentukan barang/jasa yang menghasilkan revenue (pengakuan dilakukan saat barang/jasa yang dibentuk terjual); atau
(c) BEBAN (Expense), bila bila digunakan untuk memperoleh sesuatu yang manfaatnya SUDAH DINIKMATI namun TIDAK BERHUBUNGAN dengan proses pembentukan barang/jasa yang menghasilkan revenue, dengan kata lain hanya menunjang kelancaran operasional perusahaan (pengakuan dilakukan pada saat terjadi).

2. Dalam perjalanan operasional perusahaan, secara bertahap Aset akan mengalami perubahan-perubahan bentuk. Ada aset yang berubah bentuk menjadi aset lainnya. Ada juga yang secara bertahap berubah bentuk menjadi biaya (cost) atau beban (expense). Masing-masing perubahan bentuk ini diakui pada saat terjadi, sehingga mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Apakah masih perlu definisi “Beban”, “Biaya” dan “Aset”?
Saya rasa tidak. Setelah memahami konsep di atas, saya yakin anda mampu membuat definisi “BEBAN” (Expense), “BIAYA” (Cost) dan “ASET” (Aset)—dengan menggunakan bahasanya sendiri—secara benar, tanpa perlu menghafalkan definisi dari buku manapun.

Ragu Dalam Memilah Antara Membebankan, Membiayakan atau Mengkapitalisasi
Setelah paham konsep-konsep dasarnya, saya yakin anda takkan ragu lagi dalam menentukan apakah suatu pengeluaran sebaiknya “dibebankan langsung, dibiayakan, atau dikapitalisasi.” Pengeluaran apapun itu.
Seingat saya, konsep ini telah diajarkan sejak dibangku sekolah/kuliah, meskipun mungkin disampaikan dengan cara yang berbeda. Akan tetapi, bisa dimaklumi jika setelah lulus dan bekerjapun masih sering mengalami keraguan (di awal-awal karir saya juga seperti itu). Sebab untuk bisa benar-benar mantap menguasai konsep ini secara praktikal, seseorang perlu memahami:

1. Siklus alur proses pembentukan pendapatan (revenue). Sayangnya, alur ini berbeda antara satu bidang usaha dengan bidang usaha lainnya, sehingga—secara teknis—akan sulit membayangkan bila belum pernah bekerja di masing-masing bidang usaha tersebut. Apalagi belum pernah bekerja samasekali.

2. Siklus alur proses aktivitas operasional perusahaan dalam gambar besar (the big picture). Sama seperti yang di atas, ini juga berbeda antara satu bidang usaha dengan bidang usaha lainnya. Bahkan, perusahaan-perusahaan sejenis pun bisa jadi karakter operasionalnya agak berbeda antara yang satu dengan lainnya.

3. Asosiasi antara suatu pengeluaran dengan suatu aktivitas operasional di dalam perusahaan. Ini bisa sangat berbeda antara satu usaha dengan usaha lainnya. Misalnya, pengeluaran untuk membeli bensin antara perusahaan freight forwarder (cargo) dengan perusahaan biro perjalanan (travel agent) juga berbeda. Kecuali sudah pernah bekerja di perusahaan sejenis, seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengasosiasiakan pengeluaran-pengeluaran tertentu dengan aktivitas tertentu di dalam perusahaan.
SARAN/MASUKAN: Khususnya untuk rekan yang baru pertamakali bekerja, saran saya, pahami ketiga hal di atas. Pelajari alur proses pembentukan revenue pada perusahaan dimana anda bekerja. Untuk memahami ini anda perlu memahami alur proses operasional perusahaan. Pembelajaran bisa dilakukan—pada waktu senggang (misalnya jam istirahat)—dengan cara mengunjungi semua bagian perusahaan (dari gerbang masuk utama sampai pojokan belakang gedung). Lihat apa yang mereka lakukan. Jika memungkinkan, tanya orang-orang yang ada di sana.
Sebagai tambahan, saya akan share beberapa tips khusus dalam menghadapi beberapa tipikal pengeluaran yang kerap menimbulkan keraguan dalam memilah.

Tips and Trick: Dibebankan Langsung, Dibiayakan atau Dikapitalisasi?
Ada beberapa tipikal pengeluaran yang kerap menimbulkan keraguan dalam memutuskan antara dibebankan langsung, dibiayakan atau dikapitalisasi. Berikut adalah beberapa shortcut—berpikir—yang bisa anda gunakan untuk mengatasi keragu-raguan itu:

1. Lihat Catatan Sebelumnya – Jika perusahaan sudah punya buku, lihat catatan sebelumnya untuk transaksi yang sama. Kalau tidak ketemu yang sama persis, cari yang kasusnya mirip. Jika arsip tersusun per vendor, cari pada arsip untuk vendor yang sama. Jika arsip disusun per akun, cari arsip di akun yang sama. Jika tak ketemu, gunakan cara berikutnya.

2. Tanya Atasan – Saat anda dalam keragu-raguan, mengenai hal apapun itu terkait pekerjaan, cara yang paling bagus untuk mengatasinya adalah dengan bertanya. Jika anda punya atasan, tanya dia, “Pak/Bu/Kak/Mas/Mbak… pengeluaran ini dicatat sebagai apa ya?” Yang paling penting CATAT juga jawabannya, agar lain kali lupa bisa dibuka.

3. Transaksi Immaterial – Untuk pengeluaran yang nilainya kecil (immaterial), membeli staples seperti disebutkan pada contoh pertanyaan di awal tulisan ini misalnya, atau pengeluaran apapun itu, jangan ragu-ragu, langsung BEBANKAN. Mengapa? Sebab pengeluaran kecil macam ini takkan merusak matching-concept, enggak ngaruh. Sedangkan jika anda akui sebagai ASET, anda harus track terus sampai pengeluaran itu berubah menjadi cost atau expense, dan itu sia-sia, worthless. Batas besar-atau-kecilnya berapa? Bandingkan dengan total revenue di periode sebelumnya; jika revenue mencapai ratusan juta, sementara pengeluaran yanga anda ragukan dibawah ratusan ribu rupiah, berarti immaterial. Jika revenue ada di angka miliaran sementara pengeluaran yang anda ragukan di bawah satu juta rupiah, berarti immaterial.

4. Pengeluaran Besar Tapi Tak Cocok Masuk Aset – Cocok tak cocok dalam hal ini kerap sifatnya subyektif, pemahaman delusional. Pola pikir delusional ini bisa terjadi karena terkungkung oleh pemahaman bahwa “kelompok aset itu terdiri dari: Kas, Piutang, Uang Muka, Persediaan dan Aset Tetap.” Sementara yang dianggap uang muka itu hanya “biaya sewa dibayar dimuka, biaya asuransi dibayar dimuka.” Mulai sekarang, sadari bahwa: Kecuali pembayaran Gaji office staff, Listrik, Telepon, Perjalanan Dinas dan pengeluaran rutin lainnya yang obviously tergolong “Beban Operasional”, pengeluaran besar lainnya (apapun itu) PASTI masuk ke ASET. Mengapa? Sebab tak ada perusahaan yang mau mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang manfaatnya langsung habis dinikmati begitu saja, kecuali yang sudah bersifat rutin. Jika tak ada akun yang dianggap cocok, buat akun baru (tentu minta persetujuan terlebih dahulu). Sebagai contoh, kasus pengeluaran solar di atas. Diakui sebagai Persediaan tak sesuai, diakui sebagai Aset Tetap juga tak cocok. Namun nyatanya bisa diakui sebagai “Uang Muka Solar” pada kelompok Aset. Kenapa tidak, yang penting sesuai konsep di atas.

5. Pengeluaran Maintenance/Pemeliharaan Bernilai Besar – Pengeluaran untuk pemeliharaan (maintenance) yang nilainya besar, harus dikapitalisasi ke Aset Tetap terkait. Mengapa? Sebab pemeliharaan yang nilainya besar sudah pasti akan memperpanjang umur ekonomik (usia manfaat) aset terkait. Sebaliknya, jika dipaksakan masuk ke “Beban Operasional Pemeliharaan” akan merusak matching concept. Kapitalisasi ke aset terkait dilakukan dengan cara mengurangi saldo akun “Akumulasi Penyusutan.” Karena akun Akumulasi Penyusutan bersaldo kredit, maka pengurangan dilakukan dengan cara men-DEBIT. Setelah saldo ini didebit, maka Nilai Buku aset otomatis meningkat sejumlah pengeluaran maintenance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar